Dewasa ini, mencap orang-orang dengan istilah dogmatis cukup untuk membuat mereka tersinggung. Alasannya, peradaban masa kini memandang sikap dogmatis sebagai lawan dari sains, intelektualitas, dan perkembangan zaman. Sebaliknya, mereka cenderung mengelu-elukan sikap skeptis dan memandangnya sebagai jiwa dari ketiga hal yang disebut terkemudian. Berbekalkan sikap skeptis, para revolusioner membawa peradaban manusia keluar dari kegelapan agama yang penuh kekakuan, pembodohan, dan kekolotan ke dalam terang modernisasi yang mencerdaskan dan menyejahterakan. Dengan sikap skeptis pula para ilmuwan membuat temuan-temuan tentang semesta yang jauh lebih mutakhir dibandingkan dengan wahyu ilahi manapun.
Akan tetapi, bagaimana bila dogmatisme merupakan cara pikir yang tak terelakkan bagi manusia, tak peduli era ataupun tempatnya? Bagaimana bila skeptisisme yang menjadi mesin pendorong bagi sains, intelektualitas, dan perkembangan zaman itu pun sesungguhnya dogmatis secara inheren? Bukankah itu berarti bahwa setiap orang sebenarnya dogmatis dengan cara mereka sendiri? Bukankah dalam taraf tertentu, tiap-tiap individu mesti mengekspresikan sebuah opini atau pandangan seakan-akan ia adalah fakta (demikian definisi dogmatisme dalam lamunan ini), sekalipun mereka mengusung opini dan pandangan yang berbeda-beda? Haruskah kita menanggung cap dogmatis dengan tersipu apabila dogmatisme sendiri adalah kondisi kita sebagai manusia?
Sebenarnya, kita tak perlu berargumen panjang lebar untuk membuktikan keniscayaan dogmatisme. Ambillah dua paham yang bertolak belakang sebagai contoh, misalnya optimisme dan nihilisme. Semua yang diperjuangkan oleh sang optimis berdiri di atas keyakinan akan adanya kebaikan inheren dalam semesta, sedangkan sang nihilis menggaungkan absennya makna dari kehidupan. Statistik penganutnya mungkin fluktuatif, modus demografinya juga berubah seiring zaman berganti. Bukti-bukti pendukungnya pun mengalami peralihan seturut perdebatan yang berlangsung di antara pengusung kedua paham tersebut, sebagaimana para apologet juga terus menemukan cara untuk membela kepercayaan mereka dan menjatuhkan kepercayaan lawan mereka. Terlepas dari itu semua, baik optimisme maupun nihilisme akan tetap berdiri selama masih ada orang yang percaya pada keyakinan dasar atau aksioma-nya. Aksioma adalah pernyataan yang benar dengan sendirinya tanpa memerlukan pembuktian; dan ini berarti bahwa afirmasi atas suatu aksioma tidak bisa tidak dogmatis. Selama aksioma-aksioma masih melandasi setiap gagasan yang kita buat, dogmatisme adalah cara pikir yang tak terelakkan bagi kita. Tanpa bersikap dogmatis, umat manusia tak bisa berpikir.
Keniscayaan dogmatisme sebagai cara pikir manusia tercermin bahkan dalam skeptisisme—paham yang kerap kali dipandang sebagai antitesisnya. Demi keringkasan lamunan ini, kita cukup mempertimbangkan salah satu variasi skeptisisme yang populer di tengah era modern awal, yaitu skeptisisme Montaignian. Michel de Montaigne, filsuf yang merumuskan paham ini, menuangkan gagasannya dalam kumpulan tulisan yang berjudul Essays. Pahamnya tentang keragu-raguan berangkat dari argumen Pyrron—salah seorang skeptisis Yunani kuno—tentang kegalatan pengindraan (Yun. phainomena) dan lingkaran setan (Yun. diallelos). Argumen kegalatan indra menandaskan bahwa penalaran kita sebagai manusia mengondisikan stimulus-stimulus yang kita cerap sedemikian rupa hingga kita tidak mampu mengetahui kondisi benda-benda yang sesungguhnya. Dalam parafrase Montaigne, “tak ada yang sampai pada kita selain [benda-benda] yang telah dipalsukan dan diubah oleh pengindra kita.” Secara berbeda, argumen lingkaran setan menegaskan kesia-siaan proses pencarian kebenaran yang berwatak sirkuler. Dalam prosa Montaigne, “untuk menilai kenampakan dari benda-benda, kita memerlukan instrumen pengukur; untuk memverifikasi instrumen ini, kita memerlukan sebuah demonstrasi; untuk memverifikasi demonstrasi itu, sebuah instrumen: di sini kita ada di dalam lingkaran.”
Pada gilirannya, ketidakmampuan dalam mencerap dan menilai kebenaran dari realitas di sekitar kita menimbulkan kesulitan untuk memilih. Pasalnya, segala sesuatu yang ada di hadapan kita memiliki potensi ke[tidak]benaran yang sama, dan ini berarti pilihan-pilihan yang tersedia bagi kita berbobot setara (Yun. isostheneia). Dalam menghadapi kondisi ini, Pyrron mengusung penangguhan keputusan (Yun. epoche) sebagai sikap yang ideal. Menurutnya, ketimbang melakukan pertimbangan rasional yang menyiksa batin dan sia-sia, akan lebih baik bagi kita untuk melepaskan diri dari impuls untuk memilih dan mencapai keadaan jiwa yang tenang tanpa kecemasan (Yun. ataraxia).
Namun demikian, Montaigne menyadari bahwa penangguhan keputusan à la Pyrron membiakkan kelembaman, dan kelembaman adalah kematian perlahan. Seorang skeptis yang senantiasa lembam di hadapan hidangan yang tersaji di depannya akan berakhir mati karena kelaparan dan dehidrasi—dan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus yang di dalamnya kelembaman mendatangkan maut. Oleh karena itu, Montaigne menilai bahwa skeptisisme Pyrron yang berorientasi pada penangguhan keputusan dan ketenangan jiwa runtuh dalam implementasinya. Sebagai gantinya, ia merumuskan skeptisisme yang mengejawantah dalam sejenis “maraton pikiran.” Ia menganjurkan agar kita hanya bersikap melit hingga jiwa dan raga kita mencapai batasnya. Anjuran yang demikian memang mengandaikan bahwa secara praktis skeptisisme pasti berakhir dalam kegagalan. Namun demikian, ia sama sekali tidak menggugat argumen Pyrron yang membuktikan kesahihan skeptisisme sebagai sebuah paham.
Mari kita perhatikan rentetan argumen yang membentuk skeptisisme Montaignian. Pembaca yang peka akan menyadari bahwa semua bantahannya terhadap dogmatisme dan dukungannya atas sikap melit bersandar pada sebuah aksioma: ketiadaan kebenaran. Alih-alih menginterogasi aksioma itu, Montaigne langsung mendukungnya dengan argumen kegalatan indra dan lingkaran setan. Alur berpikir yang demikian tak hanya berujung pada afirmasi atas satu aksioma, ia juga secara tersirat menambahkan aksioma-aksioma lain pada skeptisisme Montaignian tentang kebenaran. Sebagai contoh, berkata bahwa pengindraan kita mengubah keadaan benda-benda yang dicerapnya mengandaikan adanya pengetahuan akan keadaan benda-benda itu sendiri terlepas dari sudut pandang kita sebagai manusia (sebab jika tidak, bagaimana kita tahu bahwa telah terjadi perubahan?). Lebih lanjut, menegaskan bahwa verifikasi kebenaran dan instrumen pengukurnya merupakan proses sirkuler meniscayakan bahwa pencarian kebenaran merupakan proses yang sepenuhnya logis dan positivistik, tanpa kemungkinan bagi manusia untuk bertolak dari pemahaman-pemahaman intuitif mereka yang tak terekspresikan melalui kata.
Dengan demikian, dogmatisme merupakan cara pikir yang tak terelakkan bagi umat manusia, bahkan bagi para penganut skeptisisme. Mekanisme pikiran manusia tak bisa berjalan tanpa aksioma sebagai pijakannya; dan afirmasi atas kebenaran dari suatu aksioma pastilah dogmatis.